Kebetulan suasananya tenang. Interiornya hangat, wangi kopi kecium samar-samar, dan musiknya nggak ganggu. Gue duduk di pojokan, pesen kopi hitam, buka laptop, dan mulai scroll-scroll timeline. Nikmat yang sederhana.
Sampai akhirnya, gue denger suara dari meja sebelah. Dua orang cowok, gayanya kayak anak-anak “so chill” tapi obrolannya... ya gitu deh.
“Papi gue beliin BMW pas ulang tahun ke-20.”
“Papi i yang punya gedung itu.”
“Mami i punya butik di Plaza Indonesia, ngerti gak sih kamu?”
“Dulu i kuliah di Aussie, tapi bosen jadi balik Indo.”
“Cici i tuh ngurus brand luxury, jadi dapet tas langsung dari Paris.”
“Ya kalau jalan harus bawa driver, masa nyetir sendiri? Capek tau.”
“Weekend biasanya i ke Bali, atau nggak staycation di Dharmawangsa.”
“Serius lo nggak pernah ke Jepang? I pikir semua orang udah.”
Ini bukan potongan dari film. Ini real talk. Dan kalau lo tumbuh di lingkungan Jakarta Barat yang isinya flex halus 24/7, lo pasti familiar sama pola ini. Kadang dari temen nongkrong, kadang dari sepupu yang jarang ketemu tapi langsung bandingin isi dompet, kadang cuma dari orang asing yang kebetulan lo dengerin di kafe.
Gaya bicaranya sih santai. Tapi semuanya punya satu benang merah: pamer.
Gue Awalnya Mau Cuek
Gue nggak kenal mereka, dan awalnya pengin pura-pura nggak denger. Tapi makin lama, makin kenceng. Makin gamblang juga arah pembicaraannya. Bukan cuma soal mobil atau tas, tapi juga circle pergaulan, tempat liburan, bahkan standar kehidupan.
Satu dua kalimat masih bisa gue tolerir. Tapi ini udah kayak parade keangkuhan. Dan anehnya? Mereka ngobrol kayak itu hal paling normal di dunia.
Bukan Soal Iri, Tapi Soal Lelah
Gue mulai mikir. Bukan karena iri, tapi karena capek. Capek hidup di tengah masyarakat yang menjadikan “status” sebagai alat komunikasi utama. Nongkrong bukan buat saling dengerin, tapi buat ngukur “sejauh mana lo udah sukses.” Obrolan bukan buat nyambungin koneksi, tapi buat nunjukin siapa yang lebih di atas.
Mulai dari SMA, kuliah, sampai dunia kerja, pola ini terus keulang. Circle dibentuk bukan dari kenyamanan, tapi dari seberapa “pantas” lo masuk. Lo mesti punya gaya hidup tertentu, mindset tertentu, bahkan cara ngomong tertentu biar dianggap “masuk.”
Jakbar vs Jakut: Sama-Sama Ajang Kompetisi, Cuma Gaya Beda
Jakarta Barat tuh terkenal dengan flex halusnya. Lo nggak bakal dikatain miskin secara langsung, tapi lo bakal “nggak nyambung” kalau obrolan lo terlalu real. Pelan-pelan lo dikucilkan. Gaya flexing-nya elegan, tapi tetep nyakitin kalau lo jeli.
Jakarta Utara beda lagi. Di Jakut, flexing itu frontal. Lo punya—lo dihargai. Lo nggak punya—lo dianggap angin lalu. Gak ada basa-basi. Tapi minimal mereka nggak sok manis. Lo tahu posisi lo sejak awal.
Dan jujur aja, dua-duanya melelahkan.
Flexing Itu Nggak Salah, Tapi...
Flex itu bagian dari manusia. Semua orang pengin diakui. Pengin kelihatan keren, mapan, punya sesuatu yang bisa dibanggain. Tapi kalau itu jadi bahasa utama lo dalam bersosialisasi, maka ada yang salah.
Karena flexing jadi toxic ketika:
- Lo gak bisa cerita soal kegagalan karena takut direndahkan
- Lo harus pura-pura bahagia supaya tetap relevan
- Lo hidup untuk validasi orang yang bahkan nggak benar-benar kenal lo
- Lo gak tahu lagi lo siapa, karena terlalu sering menyesuaikan
Lo bukan manusia lagi. Lo berubah jadi simbol status. Dan tiap hari lo hidup buat pertahankan citra itu.
Makanya gue makin nyaman nongkrong sendirian. Duduk di pojok kafe, baca buku, buka laptop, denger playlist kesukaan, atau cuma bengong sambil nikmatin kopi. Tanpa harus nyari topik yang bikin gue keliatan keren. Tanpa harus mikir, “Eh, gue udah cukup sukses buat duduk di sini belum?”
Gue juga makin selektif sama pertemanan. Bukan berarti jadi eksklusif, tapi karena sadar: energi itu mahal. Dan nggak semua orang pantas dapet versi terbaik dari kita.
Kalau lo ngerasa kayak gitu juga, tenang. Lo nggak sendirian. Lo cuma lagi naik level.
Yang Tenang Bukan Kalah
Kalau sekarang lo lebih suka diem, lebih suka jaga jarak, lebih suka nongkrong sendirian, itu bukan kemunduran. Itu bentuk evolusi. Karena lo udah cukup dewasa buat ngerti: validasi itu bukan dari tas, mobil, liburan, atau circle.
Validasi datang dari diri sendiri. Dan itu yang bikin lo damai.
Di luar sana, banyak orang yang juga lagi muak. Lagi nyari ruang buat jadi diri sendiri tanpa tekanan sosial. Mereka nggak sekeras suara meja sebelah, tapi mereka ada.
Karena gak semua yang tenang itu kalah. Kadang mereka cuma udah kenyang flexing, dan sekarang mereka lagi belajar hidup lebih jujur.
Kalau lo baca ini sambil duduk sendiri di kafe... selamat. Lo udah nemuin satu bentuk kebebasan yang gak semua orang bisa nikmatin: tenang.