Terkadang saya heran, kenapa pembahasan soal saham atau crypto bisa terasa kayak debat keyakinan. Bukan lagi soal data, tapi soal kepercayaan. Saya pernah ngalamin sendiri di salah satu forum saham besar Indonesia sebut aja Forum St***B*t. Di sana, orang yang ngomong pakai data malah dianggap musuh. Yang ngomong pakai perasaan malah disembah.
Waktu itu saya bahas saham BBCA di area sekitar 10.200-an kurang lebih. Saya jelasin dengan analisa teknikal, lengkap dengan data pergerakan harga dan indikator yang mulai menunjukkan potensi penurunan. Tapi anehnya, tanggapan orang-orang kayak bukan investor lebih kayak jamaah yang lagi denger khotbah. Mereka marah, bilang “BBCA only up”, “ga mungkin turun”, bahkan ada yang ngatain orang “goblok” cuma karena beda pandangan.
Padahal, posisi saya netral. Saya gak nyuruh mereka jual, gak juga ngajak cut loss. Cuma kasih sudut pandang objektif: harga udah tinggi, ada potensi koreksi, itu aja. Tapi hasilnya? Akun saya dibanned permanen. Terserah mereka mau ikut saran atau tidak, tapi seharusnya diskusi nggak perlu berubah jadi serangan personal atau doxxing.
Lebih parah lagi, saya sempat lapor ke customer service forum itu. Jawabannya bikin geleng kepala mereka minta saya bikin permintaan maaf ke semua orang yang “tersinggung”. Padahal yang saya tulis cuma argumen pasar, bukan hinaan, bukan provokasi. Ironisnya, orang-orang yang tiap hari ngomong “BBCA only up”, “ga mungkin turun”, bahkan ngatain orang “goblok” kalau beda pendapat, justru dibiarkan begitu aja tanpa sanksi. Semua kata kasar, hinaan hewan, bebas melenggang.
Lucunya, setelah saya dibanned, saham BBCA sempat naik dari 7.000 -an ke sekitar 9.700 sampai dengan 9800-an kurang lebih. Mereka langsung tag saya, bilang, “Tuh kan only up!” Tapi saya diam aja, karena udah gak bisa balas. Dan bener aja, gak lama kemudian harganya turun lagi ke kisaran 8.500-an. Data tetap data, market tetap jalan sesuai logika bukan sesuai doa investor fanatik.
Fenomena kayak gini gak cuma di saham. Di dunia crypto juga sama. Contohnya XRP. Banyak banget yang memujanya kayak koin penyelamat dunia finansial. Alasannya? Karena “bakal kerja sama dengan bank”, “bakal ganti sistem SWIFT”, dan sebagainya. Tapi kalau kita bongkar satu-satu, kebanyakan cuma hype. Proyeknya stagnan, adopsinya lambat, dan sebagian besar narasi cuma diulang-ulang biar harga naik. Tapi coba deh bilang begitu di forum mereka langsung dikata-katain kayak kita ngatain nabi mereka.
Di forum-forum berinisial Disd***, Tele****, dan Twi***, pola fanatisme itu kelihatan banget. Bukan lagi diskusi soal potensi dan risiko, tapi soal keyakinan bahwa “token ini akan menyelamatkan dunia.” Padahal yang bikin harga naik ya demand dan likuiditas, bukan doa bareng komunitas.
Yang paling bikin geleng kepala, di Forum St***B*t itu, orang-orang yang jelas-jelas nyepam, doxxing, bahkan nyebar data pribadi (yang udah masuk ranah pelanggaran UU ITE) gak dibanned sama sekali. Tapi saya, yang cuma bahas data tanpa satu kata kasar pun, dihapus dan di banned permanen. Untungnya sih, saya gak invest di platform itu, wkwkwk.
Mengapa Orang Begitu Memuja Suatu Emiten atau Koin?
Menurut saya, penyebabnya sederhana tapi cukup dalam. Fenomena ini bukan sekadar soal uang atau harga naik turun, tapi soal psikologi manusia yang bermain lebih kuat daripada logika. Ketika seseorang sudah memiliki saham atau koin tertentu, keterikatan emosional mulai terbentuk. Nilai objektif instrumen itu mulai digeser oleh perasaan dan keyakinan pribadi.
Di forum-forum diskusi, pola ini semakin diperkuat oleh interaksi sosial. Orang cenderung mencari dukungan dari mereka yang sepemikiran, sementara kritik dianggap ancaman. Ketika harapan, identitas komunitas, dan kebutuhan untuk “benar” berkumpul, investor yang awalnya rasional perlahan berubah menjadi pemuja. Mereka tidak lagi menilai berdasarkan data atau analisis, tapi berdasarkan keyakinan dan kebutuhan psikologis.
Ada empat hal utama yang bikin orang berubah dari investor jadi pemuja:
1. Efek kepemilikan (endowment effect) begitu seseorang punya saham atau koin tertentu, otaknya otomatis menganggap itu “bagus” hanya karena sudah jadi miliknya. Daniel Kahneman menjelaskan hal ini dalam Thinking, Fast and Slow (2011): manusia cenderung memberi nilai lebih tinggi pada sesuatu yang sudah mereka miliki, meski nilainya objektif biasa saja. Karena itu, begitu mereka pegang BBCA atau XRP, kritik apa pun langsung dianggap serangan pribadi.
2. Confirmation bias orang lebih suka mencari dan mempercayai informasi yang menguatkan pandangannya. Richard Thaler dan Nicholas Barberis dalam A Survey of Behavioral Finance (2003) menyebut bias ini sebagai penyebab utama investor gagal berpikir rasional. Di forum-forum saham, yang bilang “BBCA pasti naik” langsung disambut dengan pujian, tapi yang bilang “ada potensi turun” dianggap pengganggu suasana.
3. Fear of being wrong di dunia investasi, banyak ego dan gengsi. Mengakui salah terasa kayak kalah, jadi mereka lebih milih menyerang orang lain daripada merevisi pandangan sendiri. James Montier dalam Behavioural Investing (2007) nyebut ini sebagai “emotional anchoring” saat posisi dan keyakinan pribadi bikin investor buta terhadap fakta baru.
4. Sense of belonging komunitas investor sering berubah jadi kelompok sosial yang punya identitas sendiri. Ketika rasa kebersamaan itu kuat, otomatis muncul mentalitas “kita vs mereka”. Siapa pun yang berbeda pandangan dianggap musuh. Kahneman juga menyinggung ini sebagai bentuk bias sosial yang bikin manusia lebih takut dikucilkan daripada salah secara logika.
Ketika beberapa elemen fundamental keyakinan buta, harapan berlebih, sentimen komunal, dan penolakan terhadap data yang berlawanan berkumpul dalam satu ruang diskusi, hasilnya nyaris selalu dapat diprediksi. Forum yang seharusnya menjadi arena adu gagasan dan analisis objektif, seketika beralih fungsi menjadi sebuah tempat ibadah modern.
Di dalamnya, harga saham atau koin tidak lagi dilihat sebagai angka yang merefleksikan nilai, melainkan telah menjelma menjadi simbol keimanan. Bagan-bagan teknikal ditafsirkan layaknya kitab suci, dan para influencer didapuk sebagai pemuka agama yang sabdanya tak boleh dibantah. Setiap argumen kritis atau pandangan berbeda tidak dianggap sebagai masukan, melainkan sebagai penistaan yang harus segera disingkirkan.
Pada titik inilah logika secara sistematis dikesampingkan, sementara emosi mengambil alih kemudi sepenuhnya. Euforia menjadi pujian, koreksi pasar dianggap ujian, dan setiap anggota komunitas diharapkan untuk "percaya pada proses" tanpa bertanya. Ruang gema ini terasa hangat dan menenangkan, karena semua orang saling menguatkan keyakinan yang sama.
Namun, di luar tembok gema yang nyaman itu, realitas pasar beroperasi dengan aturan yang berbeda. Pasar adalah entitas yang dingin dan impersonal; ia tidak memiliki sentimen, tidak peduli pada loyalitas, dan sama sekali abai terhadap siapa yang memiliki keyakinan paling kuat atau suara paling lantang.
Pada akhirnya, pasar tidak akan pernah memberikan penghargaan bagi mereka yang paling yakin. Ia hanya akan memberikan imbalan kepada mereka yang paling siap, paling adaptif, dan paling bersedia menerima kenyataan sekalipun kenyataan itu tidak sesuai dengan apa yang mereka imani bersama di dalam forum.