Halo semuanya! Pernah nggak sih kalian bayangin: setelah kerja banting tulang selama bertahun-tahun, rajin nabung, dan berharap bisa punya rumah sendiri… ternyata yang bisa kalian miliki cuma bangunan seluas 3x6 meter?
Akhir-akhir ini, topik soal rumah subsidi 18 m² ramai banget dibahas. Ukurannya? Lebih sempit dari garasi mobil Avanza. Lebih sempit lagi kalau dibandingin sama seperempat lapangan bulu tangkis. Semua fungsi—dari ruang tamu, tempat tidur, dapur, sampai makan—digabung jadi satu ruang. Jangan harap bisa leluasa muter badan.
Nggak heran banyak netizen menyindirnya dengan nama: Rumah Subsidi Sangat Sempit Sekali alias RSSSS. Lucu, tapi miris juga.
Rumah Layak Itu Bukan Cuma Tembok dan Atap
Kalau kita lihat dari sisi logis dan data, rumah ideal harusnya jauh lebih besar. SNI (Standar Nasional Indonesia) sejak 2002 sudah menetapkan minimal rumah layak huni itu 36 m². Kebutuhan ruang per orang? Minimal 9 m².
Kalau pakai standar global dari Sustainable Development Goals (SDGs), ukurannya sedikit lebih kecil: 7,2 m² per orang. Jadi kalau kita hitung untuk keluarga dengan empat orang anggota, idealnya rumah mereka punya luas sekitar 29 m². Artinya, rumah subsidi 18 m² jelas tidak cukup.
Tapi rumah itu bukan cuma soal ukuran. Ada syarat penting lain yang harus dipenuhi:
-
Sirkulasi udara dan cahaya yang baik: biar rumah nggak lembap dan bikin sakit.
-
Akses air bersih dan sanitasi layak: ini mutlak.
-
Bangunan kokoh dan aman: keselamatan bukan pilihan, itu hak.
-
Privasi tiap penghuni: nggak mungkin dong semua aktivitas dilakukan di satu ruangan kecil?
-
Ruang untuk kebutuhan spiritual dan budaya: misalnya tempat salat, ruang sembahyang, dan sebagainya.
Rumah harusnya jadi tempat istirahat, tempat ngobrol santai bareng keluarga, tempat kita bisa bernapas lega. Bukan sekadar tempat berlindung seadanya seperti kaleng sarden.
Kenapa Rumah Kecil Banget Ini Diusulkan?
Pemerintah bilang, ini solusi cepat buat atasi krisis perumahan. Tapi ya... banyak pertanyaan yang ikut muncul.
Beberapa alasannya:
-
Backlog Perumahan Tinggi: Lebih dari 12 juta keluarga belum punya rumah. Pemerintah mau kejar target.
-
Harga Tanah Naik Gila-gilaan: Terutama di kota besar, harga tanah udah nggak masuk akal.
-
Tekanan Efisiensi Biaya: Rumah kecil = material lebih sedikit = bisa bangun lebih banyak unit.
-
Solusi buat Lajang atau Pasangan Baru Nikah: Katanya cocok buat mereka. Tapi kenyataannya, ruang segitu kecil banget untuk berkembang.
Banyak yang bandingkan konsep ini sama tiny house movement yang populer di luar negeri. Tapi sebenarnya beda banget. Tiny house itu pilihan gaya hidup, bukan karena terpaksa. Sedangkan rumah 18 m² ini... ya karena udah nggak ada opsi lain.
Alternatif yang Lebih Masuk Akal
Ukuran rumah bisa kecil, tapi solusinya jangan sempit juga. Ada beberapa pendekatan yang lebih manusiawi dan masih bisa diwujudkan:
-
Pindah ke Lokasi Lebih Masuk Akal: Jangan maksain rumah subsidi di tengah kota. Pinggiran atau kota satelit bisa jadi alternatif. Sedikit lebih jauh, tapi rumahnya lebih layak.
-
Bangun Rusun yang Nyaman: Bukan rusun sempit dan kumuh, tapi yang dirancang bagus, cukup cahaya, ventilasi oke, dan fasilitas lengkap.
-
Desain dengan Mezzanine: Rumah mungil bisa lebih lega kalau ceiling-nya tinggi dan ada lantai tambahan di atas (mezzanine) untuk tidur atau kerja.
-
Berikan Subsidi Sewa Sementara: Bagi yang belum mampu beli, bantu dulu sewa tempat tinggal yang layak. Sambil jalan, mereka bisa atur keuangan dulu.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kalau kamu ngerasa kondisi ini menyudutkan generasi kita, kamu nggak sendirian. Tapi kita juga nggak bisa cuma diam.
-
Bersuara Secara Kritis: Gunakan media sosial buat suarakan pendapat kamu. Pakai data, kasih argumen yang masuk akal. Jangan cuma nyinyir, tapi juga kasih solusi.
-
Siapkan Keuangan Sejak Dini: Belajar investasi, menabung, dan merancang strategi keuangan itu penting banget. Biar kamu punya pilihan lebih banyak nanti.
-
Jangan Terjebak Harga Murah: Rumah subsidi bisa bagus, tapi jangan asal ambil. Lihat bangunannya, aksesnya, lingkungannya. Kalau zonk, lebih baik mundur.
-
Tetap Punya Target Jangka Panjang: Kalau belum bisa beli sekarang, nggak apa-apa. Ngekos atau ngontrak dulu bukan kegagalan. Itu bagian dari perjalanan.
Intinya, kita berhak tinggal di rumah yang layak. Bukan cuma layak secara harga, tapi juga layak secara kemanusiaan. Rumah sempit itu bukan masalah utama, tapi kalau sudah nggak sehat, nggak aman, dan nggak nyaman—itu baru jadi persoalan besar.
Kamu sendiri gimana? Setuju nggak kalau rumah subsidi seharusnya punya standar yang lebih manusiawi? Punya ide atau alternatif lain? Yuk, diskusi di kolom komentar. Dan kalau menurutmu tulisan ini berguna, silakan dibagikan ke teman-teman kamu yang lagi pusing cari rumah.