Industri perhotelan selalu tampil mewah di permukaan. Lobby mengkilap, staf ramah, dan sistem yang terlihat tertata. Tapi di balik itu, banyak hotel — baik lokal maupun jaringan internasional — masih bergelut dengan persoalan yang sama: korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kalau kamu baru mau masuk dunia hospitality, sebaiknya baca ini sampai tuntas. Karena di balik glamornya, ada sistem yang kadang lebih mirip kerajaan feodal ketimbang perusahaan profesional.
🎯 Studi: Ketika Nepotisme Merusak Semangat Kerja
Fenomena ini bukan sekadar asumsi atau curhatan orang dalam. Dalam studi berjudul "The Effects of Nepotism on Employees’ Perceptions of Job Satisfaction and Organizational Commitment" (Tourism & Management Studies, 2024), peneliti menganalisis 397 karyawan hotel bintang lima di Siprus Utara. Hasilnya menunjukkan bahwa:
“Nepotisme secara langsung menurunkan kepuasan kerja, melemahkan komitmen organisasi, dan menciptakan rasa ketidakadilan yang signifikan.”
Karyawan yang merasa posisi atau promosi diberikan bukan berdasarkan kinerja, tapi koneksi atau hubungan pribadi, jadi lebih mudah frustrasi, kehilangan motivasi, dan merasa tidak dihargai sebagai profesional.
Studi lain dari Mesir, berjudul "Nepotism and Turnover Intention among Hotel Employees" (International Journal of Hospitality Management, 2023), menyatakan bahwa:
Karyawan yang bekerja di lingkungan dengan praktik nepotisme tinggi mengalami tingkat burnout lebih cepat, cenderung tidak loyal, dan lebih berisiko untuk mengundurkan diri — kecuali mereka sendiri termasuk orang ‘dalam lingkaran’.
Artinya, sistem yang dibangun atas dasar hubungan personal dan bukan meritokrasi menciptakan iklim kerja yang tidak sehat, memperbesar jarak antarpegawai, dan mempercepat siklus keluar-masuk karyawan.
Yang menarik, studi ini juga menyebut bahwa meskipun perusahaan hotel terlihat modern dan profesional dari luar, banyak yang belum memiliki kebijakan anti-nepotisme yang jelas atau mekanisme kontrol objektif dalam promosi jabatan.
Singkatnya: struktur tetap feodal, hanya dibungkus teknologi dan seragam rapi.
🎭 Cerita Nyata: Ketika Amplop Bicara Lebih Keras dari CV
Cerita pertama datang dari M — teman gue. Lulusan perhotelan, bisa tiga bahasa, dan punya pengalaman magang internasional. Daftar ke hotel bintang lima di Jakarta, tapi gagal. Yang lolos? Anak kenalan GM. Minim skill, tapi langsung diterima dan dilatih pribadi.
Cerita kedua dari V, anak magang yang kerja di bar hotel. Tiap hari cuma disuruh bersih-bersih dan angkut barang. Waktu dia izin karena keluarga meninggal, supervisor cuma bilang:
“Kalau gak siap mental, keluar aja.”
Cerita ketiga dari S, commis kitchen di hotel Sudirman. Gaji 3,5 juta, kerja 12 jam, tanpa lembur. Dia minta promosi tapi ditolak. Beberapa minggu kemudian, posisi yang dia incar diisi oleh anak relasi manager F&B. Tanpa tes, tanpa pengalaman.
Cerita keempat dari W, mantan reception di hotel franchise di Bali. Penampilannya rapi, kerjanya rapi, dapat pujian dari supervisor. Tapi semua berubah saat GM baru masuk. W dipinggirkan, lalu digeser keluar demi anak kenalan sang bos.
Cerita kelima? Cerita gue sendiri.
Magang gue seharusnya selesai Desember. Tapi akhirnya dipanjangin sampai Maret, total 3 bulan tambahan — tanpa gaji sepeser pun.
Masalahnya, gue cuma absen 3 hari karena sakit, lengkap pakai surat dokter. Tapi di tempat magang itu, ada aturan sepihak: kalau nggak masuk 1 hari, harus ganti 3 hari. Jadi kalau absen 3 hari, dihitung harus ganti 9 hari.
Tapi anehnya, gue malah disuruh ganti 3 bulan penuh. Nggak masuk akal. Harusnya cukup ganti 9 hari kerja. Tapi ini malah 60 hari kerja lebih — dan semuanya nggak dibayar.
🧱 Struktur Organisasi = Struktur Feodal
Banyak hotel masih menerapkan sistem hierarki kuno — bukan meritokrasi. GM = raja. Manager = bangsawan. Supervisor = penjaga pintu. Sisanya? Rakyat kecil yang disuruh tunduk.
Kritik ke atas dianggap ancaman. Inisiatif dianggap pembangkangan.
Promosi bukan soal kerja bagus, tapi soal siapa yang bawa nama kamu ke rapat internal.
💣 Efek Domino: Layanan Drop, Moral Ambruk
Ketika jabatan diisi orang yang salah, hasilnya juga berantakan:
- Layanan jadi setengah hati
- Staff kerja tanpa gairah
- Mutasi asal-asalan
- Turnover tinggi
Tamu bisa aja senyum, tapi staf di balik senyum itu bisa lagi patah semangat — karena kerja bagus gak berarti apa-apa tanpa koneksi.
🚫 Kenapa Gue Gak Rekomendasikan Industri Ini Buat yang Serius Mau Berkembang
Kalau lo gak punya koneksi atau mental baja buat dilindas sistem, jujur aja: mending pikir ulang sebelum masuk ke industri hotel. Kecuali lo bener-bener passionate atau cuma pengen cari pengalaman singkat, jangan terlalu berharap karier lo bisa berkembang sehat di lingkungan seperti ini.
KKN bukan cuma masalah negara — tapi juga penyakit laten di banyak hotel. Ironisnya, semua itu dibungkus rapi dalam seragam licin, SOP manis, dan senyum profesional.
Kalau lo sekarang lulusan perhotelan, atau baru punya niat kuliah di bidang ini, gue sarankan pertimbangkan matang-matang. Kalau lo bukan bagian dari “darah biru” — entah saudara manager, anak GM, atau punya jalur belakang — besar kemungkinan lo akan kecewa. Sistem ini gak dirancang buat orang biasa naik kelas lewat kerja keras.
Yang paling nyebelin? Lo bisa aja kerja rajin tiap hari, ngisi shift terus, tapi status lo tetap: daily worker abadi. Nggak ada kepastian jadi staff, apalagi naik jabatan. Jadi budak sistem tanpa masa depan.
Punya cerita serupa? Atau lebih parah? Tulis di komentar. Karena diam itu bagian dari sistem yang busuk.